Rengasdengklok merupakan sebuah nama yang tidak lagi asing ditelinga sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, karena nama itu selalu dihubungkan dengan peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rengasdengklok adalah ke tempat dimana Soekarno dan Hatta ‘dibawa’ pada 16 Agustus 1945, dalam suatu upaya yang dilakukan oleh beberapa orang pemuda untuk mempercepat proklamasi. Nama itu akan tetap tinggal nama, jika saja dalam suatu perjalanan pulang ke Jakarta melewati tol Cikampek – Jakarta, saya gagal mendorong diri untuk berbelok keluar di pintu tol Karawang Barat. Hanya berbekal nama, mobil pun melaju untuk mencari tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya itu.
Di pintu tol, gadis penjaga gardu tol berkata bahwa saya harus berbelok ke kiri ketika bertemu lampu merah, dan lalu belok ke kanan saat menjumpai stasiun bus Tanjung Pura. Saya ikuti petunjuknya. Dari pintu tol sampai ke lampu merah jaraknya sekitar 6,6 km, dan sekitar 3,4 km lagi untuk sampai di stasiun bus Tanjung Pura.
Mengikuti jalan utama, setelah sekitar 12,1 kilometer dari stasiun bus Tanjung Pura, mobil berbelok ke kiri setelah melihat ada papan penunjuk jalan ke arah monumen Rengasdengklok. Jalan yang rupanya baru dibuat belum terlalu lama itu membujur melewati persawahan sepanjang 2,2 kilometer sebelum akhirnya sampai ke monumen. Perjalanan secara keseluruhan adalah 24,3 km dari pintuk keluar tol Karawang Barat. Ada perasaan senang di hati, karena akhirnya berhasil juga menemukan tempat itu.
Sebuah tanda berbunyi “Selamat Datang di Monumen Kebulatan Tekad Rengasdengklok“. Beberapa pekerja tampak tengah mengganti pagar yang mengelilingi monumen.
Peristiwa Rengasdengklok adalah insiden penculikan Soekarno dan Hatta yang dilakukan oleh pemuda kelompok Menteng 31 pada 16 Agustus 1945. Fatmawati dan Guntur juga ikut dibawa ke sana.
Tempat yang sekarang menjadi Monumen Rengasdengklok itu sebelumnya adalah markas PETA (Pembela Tanah Air). Di tempat inilah, Soekarno dan Hatta diminta oleh para pemuda itu untuk mempercepat proklamasi, namun mereka menolak.
Konon pada tanggal 16 Agustus 1945, di Monumen Rengasdengklok ini sudah dilangsungkan upacara pengibaran bendera merah putih.
Untuk alasan keamanan, Soekarno dan Hatta kemudian dikawal pergi menuju ke sebuah rumah yang agak terpisah dari rumah-rumah lain yang berada di dekat sungai Citarum. Rumah ini dimiliki oleh (alm) babah Djiaw Kie Siong. Pada 1957, rumah tersebut dipindahkan ke lokasi yang sekarang ini karena terancam abrasi sungai Citarum.
Saya berkesempatan bertemu dan berbincang dengan Pak Daniel, yang adalah cucu dari babah Djiaw Kie Siong, yang sekarang ditugasi merawat rumah bersejarah itu.
Di atas meja terdapat sebuah buku tamu dan beberapa buah foto. Meskipun foto Megawati terpajang di atas meja itu, namun sampai saat itu ia belum pernah berkunjung ke tempat itu.
Foto di atas adalah replika tempat tidur yang pernah dipakai oleh Bung Karno untuk beristirahat pada peristiwa Rengasdengklok. Tempat tidur aslinya telah dibawa atas perintah Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, untuk ditempatkan di museum tentara di Bandung.
Ipar Pak Daniel tengah menunggui warung yang terletak di depan rumah.
Buah sawo ini menyegarkan ingatan masa kanak-kanak, ketika tiga buah pohon sawo yang berukuran sangat besar masih berdiri tegar di sekeliling rumah keluarga di sekitar Masjid Mersi Lor, Purwokerto. Tidak jarang saya memanjat pohon yang besar dan tinggi itu untuk mencari buah yang sudah agak matang, atau hanya sekadar berbaring menikmati silir angin di dahannya yang besar.
Santapan yang mungkin tidak terlalu sehat buat tubuh orang yang sudah mulai berumur, namun saya habiskan juga makanan yang dijual oleh ipar Pak Daniel ini.
Sebelum meninggalkan Monumen Rengasdengklok itu, saya sempatkan naik ke bibir sungai Ciliwung dan mengambil beberapa potret. Pemerintah daerah setempat saat itu tengah membangun dinding beton untuk mencegah abrasi sungai. Namun pekerjaan ini terhenti, nampaknya karena alokasi dananya tidak kunjung turun.
Sebelum terjadi krisis ekonomi 1998, pemerintah telah mulai membangun sebuah monumen besar untuk melengkapi Monumen Rengasdengklok yang sudah ada. Namun sebagaimana dinding beton tepi Citarum, pekerjaan pembuatan monumen ini juga terhenti karena ketiadaan perhatian dan dana.
Di pintu tol, gadis penjaga gardu tol berkata bahwa saya harus berbelok ke kiri ketika bertemu lampu merah, dan lalu belok ke kanan saat menjumpai stasiun bus Tanjung Pura. Saya ikuti petunjuknya. Dari pintu tol sampai ke lampu merah jaraknya sekitar 6,6 km, dan sekitar 3,4 km lagi untuk sampai di stasiun bus Tanjung Pura.
Mengikuti jalan utama, setelah sekitar 12,1 kilometer dari stasiun bus Tanjung Pura, mobil berbelok ke kiri setelah melihat ada papan penunjuk jalan ke arah monumen Rengasdengklok. Jalan yang rupanya baru dibuat belum terlalu lama itu membujur melewati persawahan sepanjang 2,2 kilometer sebelum akhirnya sampai ke monumen. Perjalanan secara keseluruhan adalah 24,3 km dari pintuk keluar tol Karawang Barat. Ada perasaan senang di hati, karena akhirnya berhasil juga menemukan tempat itu.
Sebuah tanda berbunyi “Selamat Datang di Monumen Kebulatan Tekad Rengasdengklok“. Beberapa pekerja tampak tengah mengganti pagar yang mengelilingi monumen.
Peristiwa Rengasdengklok adalah insiden penculikan Soekarno dan Hatta yang dilakukan oleh pemuda kelompok Menteng 31 pada 16 Agustus 1945. Fatmawati dan Guntur juga ikut dibawa ke sana.
Tempat yang sekarang menjadi Monumen Rengasdengklok itu sebelumnya adalah markas PETA (Pembela Tanah Air). Di tempat inilah, Soekarno dan Hatta diminta oleh para pemuda itu untuk mempercepat proklamasi, namun mereka menolak.
Konon pada tanggal 16 Agustus 1945, di Monumen Rengasdengklok ini sudah dilangsungkan upacara pengibaran bendera merah putih.
Untuk alasan keamanan, Soekarno dan Hatta kemudian dikawal pergi menuju ke sebuah rumah yang agak terpisah dari rumah-rumah lain yang berada di dekat sungai Citarum. Rumah ini dimiliki oleh (alm) babah Djiaw Kie Siong. Pada 1957, rumah tersebut dipindahkan ke lokasi yang sekarang ini karena terancam abrasi sungai Citarum.
Saya berkesempatan bertemu dan berbincang dengan Pak Daniel, yang adalah cucu dari babah Djiaw Kie Siong, yang sekarang ditugasi merawat rumah bersejarah itu.
Di atas meja terdapat sebuah buku tamu dan beberapa buah foto. Meskipun foto Megawati terpajang di atas meja itu, namun sampai saat itu ia belum pernah berkunjung ke tempat itu.
Foto di atas adalah replika tempat tidur yang pernah dipakai oleh Bung Karno untuk beristirahat pada peristiwa Rengasdengklok. Tempat tidur aslinya telah dibawa atas perintah Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, untuk ditempatkan di museum tentara di Bandung.
Ipar Pak Daniel tengah menunggui warung yang terletak di depan rumah.
Buah sawo ini menyegarkan ingatan masa kanak-kanak, ketika tiga buah pohon sawo yang berukuran sangat besar masih berdiri tegar di sekeliling rumah keluarga di sekitar Masjid Mersi Lor, Purwokerto. Tidak jarang saya memanjat pohon yang besar dan tinggi itu untuk mencari buah yang sudah agak matang, atau hanya sekadar berbaring menikmati silir angin di dahannya yang besar.
Santapan yang mungkin tidak terlalu sehat buat tubuh orang yang sudah mulai berumur, namun saya habiskan juga makanan yang dijual oleh ipar Pak Daniel ini.
Sebelum meninggalkan Monumen Rengasdengklok itu, saya sempatkan naik ke bibir sungai Ciliwung dan mengambil beberapa potret. Pemerintah daerah setempat saat itu tengah membangun dinding beton untuk mencegah abrasi sungai. Namun pekerjaan ini terhenti, nampaknya karena alokasi dananya tidak kunjung turun.
Sebelum terjadi krisis ekonomi 1998, pemerintah telah mulai membangun sebuah monumen besar untuk melengkapi Monumen Rengasdengklok yang sudah ada. Namun sebagaimana dinding beton tepi Citarum, pekerjaan pembuatan monumen ini juga terhenti karena ketiadaan perhatian dan dana.
Budi Hermawan [ Sumber ]